Tulisan
Opini (Jurnalistik)
Woro Perwita
Nommy
176114766/3SA03
Akhir bulan Oktober lalu, kita telah menyaksikan di layar
kaca televisi kita mengenai demo buruh yang terjadi di beberapa kota besar di
Indonesia. Bahkan sampai saat ini pun masih terasa suasana menegangkan itu.
Para buruh melakukan mogok kerja untuk beberapa hari. Mereka melakukan hal itu
hanya untuk menuntut perbaikan nasib. Menurut mereka, untuk menghidupi biaya
hidup mereka di era saat ini sudah tidak layak.
Ketegangan terjadi saat aksi unjuk rasa ribuan buruh mulai
ricuh. Ribuan buruh ini tidak terima jika di dalam kawasan industri itu ada
beberapa perusahaan yang masih beropersi dengan ratusan karyawan yang tidak
ikut demo. Massa buruh mengamuk dan mendatangi kawasan tersebut. Mereka merusak
dan melempari pos sekuriti karena petugas keamanan kawasan melarang ribuan
buruh yang hendak masuk ke dalam perusahaan. Ratusan personil polisi berhasil membubarkan
massa buruh, akan tetapi mereka tidak menyerah begitu saja. Mereka tetap
melakukan aksi protes, orasi, berteriak agar semua karyawan keluar dan ikut
berunjuk rasa.
Kupikir saat itu kita sedang memperingati Hari Buruh, tapi
itu salah. Ternyata para buruh sedang melakukan demo. Aku baru ingat kalau Hari
Buruh itu jatuh pada tanggal 1 Mei. Saat saya menonton berita di TV, mereka
melakukan aksi demo untuk menuntut kenaikan upah minimum kota (UMK) dari sebelumnya
2,7 juta rupiah menjadi 3,7 juta rupiah. Tapi menurutku permintaan itu terlalu
berlebihan. Mereka meminta penaikkan upah kerja hingga 100%.
Penaikkan upah kerja adalah sebuah hak dalam suatu
perindustrian. Karena dari situlah mereka menggantungkan nasib mereka mulai
dari sandang, pangan dan papan. Akan tetapi, permintaan mereka terlalu berat
bagi para pengusaha yang memiliki industri tersebut. Saya juga turut kasihan
karena para buruh telah bekerja selama bertahun-tahun, akan tetapi tidak ada
penaikkan upah kerja. Meskipun begitu, permintaan penaikkan upah terlalu
tinggi.
Aku sempat berpikir, “Mereka tidak bersyukur atas apa yang
telah diberikan”. Mungkin kalau aku menjadi seorang buruh akan meminta hak
dalam urusan penaikkan upah tapi tidak sampai 100%. Dan sebaliknya, kalau saya
menjadi seorang pengusaha yang mempunyai ratusan bahkan ribuan pekerja untuk
produksi industri akan merasa stress, bingung, berpikir, “Apa yang harus
dilakukan?” mungkin saya akan berpikir untuk pergi dari Indonesia. Karena perindustrian
di Indonesia kurang baik untuk dijadikan usaha bisnis.
Dari dulu sampai sekarang, saya bertanya-tanya, “Apa sih
keuntungan kita dalam melakukan demonstrasi? Bukankah hal itu hanya
membuang-buang tenaga. Toh, kita tidak tahu kalau mereka peduli atau tidak
dengan suara kita. Mereka bisa saja mengabaikan usaha kita”. Saya jadi berpikir
negatif pada pemerintah atau para pengusaha. Semoga mereka mendengar apa yang
kita harapkan bagi mereka sendiri dan juga Indonesia. Segala sesuatu akan lebih
baik kalau kita saling bekerja sama satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar